logo batamtoday
Jum'at, 19 April 2024
JNE EXPRESS


Ruang Bebas Politisasi Sara Dalam UU Pemilu
Selasa, 06-06-2023 | 18:48 WIB | Penulis: Opini
 
Simson Sigiro, Advokad di Batam. (Istimewa)  

Oleh Simson Sigiro

Politisasi suku, agama, ras, antargolongan (Sara) telah memasuki ruang-ruang media sosial (medsos) dan kegiatan tatap muka seperti ibadah, acara, rapat-rapat yang terjadi sebelum kampanye, masa kampanye, masa tenang, sampai pemungutan suara seperti pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 dan berkembang ke Pemilu 2019 hingga Pemilihan Kepala Daerah diluar Jakarta.

Para pelaku isu sara, secara langsung dan tidak langsung bertujuan untuk penggiringan kesalahsatu peserta pemilu tanpa menghina atau dengan menghina peserta pemilu lainnya. Isu Sara bebas menari-nari ditengah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) karena tidak mengatur dan menjerat secara luas perbuatan politisasi Sara tersebut.

UU Pemilu hanya melarang pelaksana, peserta, tim kampanye menghina agama, suku, ras, golongan dan melarang menggunakan tempat tempat ibadah dalam masa kampanye. "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikar," demikian larangan dalam kampanye menurut Pasal 280 ayat 1 huruf c,h.

Pengawas Pemilu tidak diberikan wewenang oleh UU Pemilu menindak pelaku pidana diluar ketiga subjek dan waktu tersebut meski nyata-nyata peristiwa penghinaan itu terjadi dan tempat ibadah digunakan kampanye secara langsung atau tidak langsung melalui mimbar, rapat-rapat, dan kegiatan internal lainnya sebagaimana batasan dalam pasal 521.

"Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah)," sebut Pasal 521 UU Pemilu.

Pada pokoknya, terkait sara khususnya agama, UU Pemilu hanya mengatur penghinaan dan penggunaan tempat ibadah masa kampanye yang dapat disebut sebagai kategori Pidana Pemilu yang diproses Pengawas Pemilu dan Gakkumdu, bukan sejak tahapan Pemilu dimulai. Diluar tahapan kampanye bukan sebagai tindak pidana Pemilu melainkan sepenuhnya berada dalam kewenangan penyidik kepolisian sesuai peraturan perundangan-undangan.

UU Pemilu yang mengatur setiap orang bisa dijerat pidana pemilu diluar masa kampanye tetapi terbatas dimasa tenang, yaitu bila ditemukan iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet. Kemudian melaksanakan rapat umum di masa tenang. Pasal 492 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Sedangkan kampanye sebelum masa kampanye dan kampanye dimasa tenang berupa pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, debat Pasangan Calon tentang materi kampanye Pasangan Calon, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan bukan merupakan tindak pidana pemilu (Pasal 492 jo Pasal 276 ayat 2 jo Pasal 275 ayat 1 UU Pemilu). Padahal di ruang-ruang dan waktu-waktu inilah politisasi Sara itu terjadi.

Ruang dan waktu yang bebas dalam UU Pemilu ini digunakan para pelaku politisasi sara. Pelakunya mudah kita temukan dalam medsos atau maupun kegiatan tatap muka yang kebanyakan bukan pelaksana, peserta, tim kampanye pemilu melainkan simpatisan, relawan, atau sebutan lainnya.

Presiden, pemerintah, politisi, akademisi, penyelenggara Pemilu telah menyuarakan agar tidak menggunakan politik sara untuk meraih kekuasaan dan semua elemen tersebut hampir sepaham bahwa politisasi sara sangat membahayakan. Bahkan penyelenggara Pemilu Bawaslu menyadari dan telah mengajak organisasi-organisasi keagamaan untuk mencari defenisi politik sara sebagai langkah awal mitigasi.

"Dua-duanya (politik Sara dan politik identitas) tentu akan melahirkan perbedaan yang tajam, nah, ini yang kita harapkan politik identitas politik Sara itu tidak digunakan dalam proses pemilu ini," imbuh Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI), Totok Hariyono dalam dalam Forum Group Disscussion (FGD) tentang pencegahan politisasi sara bersama organisasi lintas iman di Jakarta Pusat, 25/5/2023.

Minimnya UU Pemilu mengatur politik sara yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa tersebut membuat Pengawas Pemilu lebih konsentrasi terhadap pencegahan-pencegahan dan penangkalan isu Sara dalam Pemilu, meski daya dorongnya lemah karena tidak dapat ditindak sesuai tindak pidana pemilu. Untuk itu kepolisian diharapkan sensitif dan lebih agresif menindak para pelaku politik sara sesuai peraturan perundang-undangan, Pemerintah bersama DPR RI selaku pembuat UU perlu bersepakat merevisi dan memperluas UU Pemilu terkait politik sara dari defenisi, waktu, perbuatan dan sanksi Pidana Pemilu menyentuh kepada setiap orang yang tidak hanya dimasa kampanye, masa tenang agar mempersempit ruang, gerak, waktu politik Sara. (*)

Penulis merupakan Advokat di Batam.

Ucapan Idul Fitri

Berita lainnya :
 
 

facebook   twitter   rss   google plus
:: Versi Desktop ::
© 2024 BATAMTODAY.COM All Right Reserved
powered by: 2digit